Friday, November 25, 2022

MEMBEDAH GAYA DIPLOMASI JOKOWI YANG PENUH MAKNA TERSEMBUNYI


JAKARTA
- Memegang dua kantong hitam berisi bibit pohon bakau, Presiden Joko Widodo jongkok di depan belasan Kepala Negara G20 dan pimpinan lembaga internasional. Jokowi mengucapkan beberapa kalimat, sementara para pemimpin dunia tampak mengangguk-anggukan kepala.

Kompak mengenakan kaos putih lengan panjang berlogo G20, Jokowi kemudian memimpin rombongan melihat Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Bali, pada Rabu 16 November lalu. Sejurus kemudian, Jokowi kembali berjongkok dan mengangkat satu kantong bibit pohon bakau. Dia kembali menjelaskan soal pohon yang juga disebut mangrove itu. Tampak PM India Narendra Modi, PM Belanda Mark Rutte menyimak dengan seksama.

Di barisan belakang, Presiden AS Joe Biden dan Presiden Prancis Emmanuel Macron tampak asyik berbincang sambil melihat sekeliling area Tahura. Jokowi kemudian berdiri di tengah-tengah para pemimpin dunia itu sambil menjelaskan berbagai spesies mangrove yang ada di Tahura Ngurah Rai.

Agenda hari kedua KTT G20 itu dilanjutkan dengan penanaman bibit bakau oleh masing-masing kepala negara dan pimpinan lembaga internasional. Mereka kemudian berpose dengan cangkul yang diangkat. Pada sesi penanaman mangrove ini, Presiden Jokowi diapit Perdana Menteri India Narendra Modi di kanan dan Presiden Uni Eropa Ursula von der Leyen di sisi kiri.

Hadir juga Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, Perdana Menteri Australia Anthony Albanese, Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte, dan Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva.

Setelah menanam bibit, Presiden Jokowi kemudian mengajak tamu negara berkeliling Tahura Ngurah Rai. Keakraban dan suasana santai terlihat sepanjang mereka berkeliling. Presiden Jokowi, tampak beberapa kali berbincang dengan Joe Biden yang berjalan di baris terdepan. Di belakang keduanya, Narendra Modi juga tampak berbincang dengan Kanselir Jerman Olaf Scholz.

Dalam penjelasannya, Jokowi mengungkapkan alasan mengajak Joe Biden dkk mengunjungi Tahura Ngurah Rai. Jokowi ingin menunjukkan bahwa Indonesia melakukan langkah konkret untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Jokowi juga mengajak negara-negara G20 ikut serta dalam pembangunan ekonomi hijau yang inklusif.

"Ini sekali lagi adalah wujud konkret Indonesia dalam perubahan iklim. Oleh sebab itu, tadi saya sampaikan Indonesia mengajak negara anggota G20 untuk berkolaborasi, bekerja sama dalam sebuah aksi nyata untuk pembangunan hijau, pembangunan ekonomi hijau yang inklusif," ucap Jokowi.

Tahura Ngurah Rai, kata Jokowi, merupakan contoh nyata kesuksesan restorasi ekosistem mangrove yang dilakukan pemerintah Indonesia. Kawasan seluas 1.300 hektare tersebut sebelumnya merupakan area tambak ikan yang mengalami abrasi. Setelah direstorasi, area itu kini berubah menjadi rumah bagi 33 spesies mangrove dan 300 fauna seperti ikan, udang, burung, monyet, dan ular.

"Sebagai negara pemilik hutan mangrove yang terluas di dunia yaitu 3,3 juta hektare hutan mangrove kita, Indonesia ingin berkontribusi kepada perubahan iklim, terhadap perubahan iklim," ungkap Jokowi.

Jokowi mengatakan, Indonesia akan menambah hutan mangrove serupa di 33 lokasi pada tahun 2023 mendatang. Indonesia sendiri saat ini tercatat sebagai negara dengan hutan mangrove terluas di dunia. dengan luas mencapai 3,3 juta hektare. Menyusul Brasil dengan 1,3 juta hektare, lalu diikuti Nigeria 1,1 juta hektare, Australia 0,97 juta hektare, dan Bangladesh 0,2 juta hektare.

"Saya kira itu yang menginspirasi para pemimpin dunia, hal-hal yang konkret yang dilakukan baik dalam transisi energi hijau maupun dalam ekonomi hijau terhadap perubahan iklim," ucap Presiden.

Kedatangan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau saat jamuan makan di area Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana, Bali membuat sejumlah jurnalis di Media Center KTT G20 heboh.

Para peliput terutama kaum hawa yang memantau dari layar lebar berteriak histeris dan bertepuk tangan saat melihat PM Justin Trudeau mengenakan kemeja berbahan kain tenun endek khas Bali warna fuchsia, sambil tersenyum lebar.

"Menawan ya, satu kancing atas batiknya dilepas," ucap salah satu jurnalis asal Indonesia, di Media Center G20 Bali, Kamis (15/11).

"Trudeau paling menawan malam ini. Posisi kedua Rishi Sunak," tambahnya.

Malam itu, para kepala negara G20 dan delegasi menggunakan busana dengan bahan kain khas Indonesia. Kain tenun endek dan batik dengan beragam motif menjadi yang paling dominan.

Beberapa warna yang paling banyak dipakai adalah merah, ungu, dan biru. Kepala negara dari Barat banyak yang menggunakan kain berwarna dasar merah atau mengarah kemerah-merahan. Seperti yang dipakai PM Inggris Rishi Sunak berwarna magenta.

Presiden China Xi Jinping dan Menteri Rusia Sergey Lavrov kompak menggunakan kain tenun berwarna biru keunguan dengan motif bunga. Sedangkan Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol, PM Spanyol Pedro Sanchez, PM India Narendra Modi Menteri Luar Negeri Meksiko Marcelo Ebrard, dan Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, menggunakan warna biru keunguan.

Berbeda dengan para tamunya, Presiden Jokowi yang didampingi Ibu Negara Iriana, hadir dengan busana adat bali. Jokowi mengenakan atasan berwarna hitam dengan bordir berwarna emas, saput dari kain songket khas Bali berwarna ungu sebagai bawahan, dan udeng dengan warna senada dengan saput sebagai penutup kepala.

Jokowi rupanya mempersiapkan betul gala dinner malam itu. Selain hiburan tari-tarian daerah dan lagu-lagu yang dibawakan sejumlah artis, deretan makanan yang disajikan pun merupakan hidangan khas Nusantara.

Untuk makanan pembuka, para pemimpin G20 dihidangkan 'Aneka Ratna Mutumanikam' yang terdiri atas mangga, rumput laut, salad dengan bumbu rujak Bali, hingga perkedel jagung daging rajungan asal Manado.

Main course atau hidangan utama terdiri dari tenderloin sapi wagyu khas Lampung, rendang Padang, mousseline singkong dan kentang, asparagus dalam saus kunyit Bali, hingga puree terong balado. Tak kalah menarik, hidangan penutup disajikan coklat mousse Aceh, nasi tuille, beras ketan hitam dengan kelapa parut, dan coulis mangga.

Para tamu tampak menikmati suguhan hiburan dan dan makanan. Jokowi juga tampak berbincang dengan beberapa kepala negara. Suasana itu berbanding kontras pada siang sebelumnya. Pembahasan di KTT G20 berlangsung panas terkait perang Rusia dan Ukraina.

Melalui akun media sosial resminya Presiden Jokowi mengungkap perihal batik yang dikenakan kepala negara saat gala dinner. Batik menjadi cendera mata yang diberikan Indonesia kepada para pemimpin negara G20 dan para delegasi internasional yang hadir.

"Mereka mengenakan batik saat menghadiri gala dinner KTT G20 di Bali. Batik-batik aneka corak dan warna itu jadi cinderamata Indonesia untuk tamu-tamu penting kita," jelas Jokowi.

Suksesnya presidensi Indonesia di G20 mendapat apresiasi dari sejumlah kepala negara. Deklarasi pemimpin G20 atau G20 Bali Leaders Declaration menjadi puncak dari kerja panjang Indonesia. Tensi tinggi di tengah situasi global yang sedang memanas dihadapi Presiden Jokowi dengan strategi diplomasi pujian.

Salah satu poin dari 52 paragraf deklarasi KTT G20 adalah penyikapan perang Rusia-Ukraina. Para pemimpin negara G20 sepakat bahwa perang berdampak terhadap ekonomi dunia. Jokowi mengungkap pembahasan deklarasi ini berlangsung alot.

"Sampai tengah malam kita berbicara mengenai ini dan akhirnya deklarasi Bali dicapai melalui konsensus," kata Jokowi Jokowi saat bertemu dengan sejumlah pemimpin redaksi media pada Kamis (17/11).

Ada cerita menarik di balik lahirnya deklarasi itu. Jokowi mengungkapkan, kepada tiga pemimpin negara besar dia menggunakan pendekatan khusus. Bagi Jokowi, diplomasi pujian dipilihnya agar tercipta situasi kondusif.

"Seperti Joe Biden saya panggil 'my senior', Xi Jinping 'kakak besar', Putin 'my brother'," tutur Jokowi.

Presiden Rusia Vladimir Putin memang tidak hadir di KTT G20 di Bali dan hanya diwakilkan Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov. Namun Jokowi sebelumnya pernah bertemu Putin di Kremlin akhir Juni lalu usai mengunjungi Ukraina.

Meski alot, akhirnya salah satu poin dalam deklarasi Bali adalah menyatakan menyesalkan agresi Federasi Rusia terhadap Ukraina dan menuntut penarikan penuh dan tanpa syarat dari wilayah Ukraina.

"Diskusi mengenai hal ini berlangsung sangat alot sekali dan akhirnya para pemimpin G20 menyepakati isi deklarasi, yaitu condemnation (kecaman) perang di Ukraina karena telah melanggar batas wilayah, melanggar integritas wilayah," kata Jokowi dalam konferensi pers, Rabu (16/11).

Deklarasi ini juga mendorong jalur diplomasi dalam penyelesaian konflik. "Penggunaan atau ancaman penggunaan senjata nuklir tidak dapat diterima. Penyelesaian konflik secara damai, upaya penanganan krisis, serta diplomasi dan dialog, sangat penting. Zaman sekarang tidak boleh perang."

Gaya Spontan tapi Dipersiapkan

Pengamat hubungan internasional Adriana Elizabeth menilai diplomasi pujian yang dilakukan Presiden Jokowi sebagai cara menghargai senioritas dan pengalaman politik Joe Biden dan Xi Jinping sebagai pemimpin negara besar.

Tiap pemimpin negara memiliki gaya komunikasi yang berbeda-beda. Adriana menilai, gaya jokowi itu sebagai spontan tapi sudah dipersiapkan 'kata kunci' yang akan disampaikan.

"Nyatanya Indonesia dihormati oleh para pimpinan negara yang hadir (G20) dan menyatakan apresiasinya terhadap Indonesia," kata Adriana kepada merdeka.com, Senin (21/11).

Gaya Jokowi memperlakukan masing-masing pimpinan negara besar, menurutnya sangat menentukan dan layak dipertahankan. "Karena ini akan memengaruhi diplomasi multilateral," tukas Adriana.

Sementara dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menduga, gaya diplomasi Presiden Jokowi tidak sepenuhnya spontan. Dalam beberapa hal, istilah yang dipakai sebenarnya sudah terkonsep dan dirancang.

"Sudah ada yang memberitahu sesuai budaya setempat. Kalau di China itu memang disebutnya ada kakak pertama, kakak kedua. Makanya Jokowi sebut kakak besar. Kalau di Amerika punya panggilan sendiri kan seperti yang diungkapkan Jokowi itu," ujarnya kepada media.

Ujang meyakini, tim di belakang Jokowi yang memberikan masukan. "Itu ada yang mendesain terkait sebutan-sebutan tersebut, sesuai dengan konteks budaya negara mereka," imbuhnya.

Apalagi, lanjut Ujang, dalam berdiplomasi, Jokowi tidak menggunakan bahasa-bahasa maupun konsep yang berat. Karakter Jokowi yang sederhana dan apa adanya, tercermin dalam gaya diplomasi saat berhadapan dengan pemimpin dunia.

"Kalau diplomasi kan yang penting kesan. Kesan itu, bagus enggak bagi orang lain. Kalau diplomasinya bagus bagi orang lain, komunikasinya bagus, pasti impact-nya juga bagus. Soal manjur atau tidak untuk diplomasi RI, kita lihatnya nanti, bukan seketika," jelas Ujang.

Dihubungi terpisah, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengungkapkan, pihaknya tidak ikut mempengaruhi gaya diplomasi Presiden Jokowi. Kemlu menyiapkan materi substansi untuk kegiatan internasional Presiden Jokowi seperti butir wicara dan draf pidato.

Saat KTT G20 Bali, Faizasyah menyebut, tugas Kemlu lebih banyak menyiapkan hal-hal terkait teknis acara, seperti dokumen panduan menjalankan persidangan. Kemlu juga memastikan jalannya pertemuan dan persidangan sesuai skanario yang disiapkan.

"Presiden lazimnya akan langsung ke pokok permasalahan (direct) pada saat memimpin KTT. Kesempatan membangun komunikasi yang lebih cair dilakukan di sela-sela konferensi, pada saat jamuan makan siang dan malam, dan saat bertemu secara bilateral," ujarnya.

Presidensi Indonesia di G20 berlangsung di saat situasi pandemi belum usai. Ketegangan geopolitik akibat invasi Rusia ke Ukraina juga menjadi tantangan berat. Untungnya, Presiden Jokowi memiliki hubungan yang cukup baik dengan kepala-kepala negara yang berada di dua kubu berbeda.

Tim Strategi Komunikasi Kantor Staf Presiden (KSP) Dilla Amran mengungkapkan, sejak awal mendapat mandat memimpin G20, Presiden Jokowi menggunakan cara diplomasi dengan langgam merangkul semua pihak.

Dilla mencontohkan, kenapa Jokowi memakai istilah 'kakak besar' kepada Presiden Xi Jinping, karena selama ini, hubungan keduanya cukup akrab. Jokowi pernah berkunjung ke Beijing, dan sering melakukan pembicaraan bilateral dalam forum-forum internasional. Jokowi juga beberapa kali pernah menelepon Xi Jinping.

Demikian juga dengan Presiden AS Joe Biden, dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Dilla menyebut, dalam setahun terakhir, Presiden Jokowi lebih banyak ikut andil dalam urusan internasional terutama terkait krisis energi, krisis pangan, dan pandemi.

"Jadi memang panggilan-panggilan ini muncul karena mungkin interaksinya sudah sering. Kita harus mengajak semua orang, ayo kita duduk bareng dialog. Jadi presiden itu sangat aktif sekali di internasional, karena sudah bagian dari dunia yang enggak bisa lepas dari ancaman krisis-krisis ini," jelasnya.

Apakah panggilan Jokowi terhadap pemimpin dunia itu spontan atau direncanakan, Dilla melihat karakter Jokowi selama ini spontan. Pola komunikasi yang dibangun selama KTT G20 Bali pun dilakukan secair mungkin. Ditambah lagi, perwakilan negara-negara di luar anggota G20 yang diundang ke Bali cukup banyak.

"Jadi memang Indonesia memposisikan diri sebagai bridge builder antara negara berkembang dan maju. Itu caranya pemerintah dan presiden, kita harus merangkul semua pihak. No one left behind, ini harus duduk bareng," ujarnya.

Atas dasar semangat itu, Dilla menilai, gaya diplomasi Jokowi memunculkan hal-hal yang spontan. "Jadi kayaknya mungkin keluar tuh spontan (panggilan) seperti itu," tukasnya.

Satu lagi yang menurut Dilla menunjukkan gaya diplomasi humble Jokowi adalah saat para kepala negara G20 mengunjungi Tahura Ngurah Rai untuk menanam bibit mangrove.

"Sampai jongkok menunjukkan tanaman mangrove, jongkok di depan Biden dan teman-temannya itu enggak pakai malu. Dia sangat merakyat, dan impresinya cukup baik ditangkap para pemimpin dunia," pungkas Dilla.

0 comments:

Post a Comment