Friday, March 24, 2023

GERAK-GERIK PUTIN RAYU JOKOWI AGAR BERKOALISI ENERGI NUKLIR


JAKARTA- Lolosnya energi nuklir Rusia dari jeratan embargo negara Barat bukan tanpa alasan. Sesuai yang dijelaskan Patricia Cohen dalam artikelnya Why Russia Has Such a Strong Grip on Europe’s Nuclear Power, dominasi energi nuklir Rusia di Eropa ternyata lebih kuat dibanding pengaruh energi gas dan mi
nyak buminya. Banyak negara eropa yang mengandalkan uranium Rusia (sebenarnya juga termasuk AS), dan tidak sedikit negara Eropa yang mengembangkan PLTN-nya dengan teknisi-teknisi Rusia.

Sederhananya, bisa dikatakan nihilnya embargo terhadap nuklir Rusia diakibatkan negara Barat belum siap menambah “borok” yang ditinggalkan akibat memutus hubungan ekonomi dengan Negeri Beruang Putih.

Namun, kekuatan tersembunyi pengembangan program PLTN mancanegara Rusia bukan hanya itu. Albert Wohlstetter dalam tulisannya Spreading the Bomb without Quite Breaking the Rules, mengibaratkan program pembangunan PLTN sebagai “penyelundupan” senjata nuklir. Ini karena untuk apapun penggunaannya, prinsip fisi nuklir yang digunakan untuk PLTN juga mampu menjadi basis dari fisi nuklir rudal.

Hari Kamis tanggal 29 Juni 2022 menjadi hari yang spesial bagi Indonesia, karena pada hari itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkesempatan bertemu dan berbincang dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin. Jokowi jadi salah satu kepala negara yang bertemu Putin pasca Perang Ukraina.

Yang menarik dari pertemuan itu adalah saat konferensi pers Putin mengungkapkan tertarik ingin mengembangkan proyek PLTN di Indonesia. Pada awalnya, hal itu terkesan seperti omongan belaka, tapi pada November 2022, salah satu petinggi Rosatom, Kirill Komarov, kembali menawarkan untuk mengembangkan reaktor nuklir apung di negara kita.

Namun, ini bukan pertama kalinya Indonesia ditawarkan membangun reaktor nuklir oleh Rusia, rencana ini sudah digaungkan bahkan sebelum Jokowi jadi presiden sekalipun. Hingga kini, kita masih terlihat belum pasti apakah akan benar-benar mewujudkannya atau tidak.

Yang jelas, pembangunan PLTN tidak seperti apa yang kerap dikoarkan para aktivis, ini adalah proyek yang sangat berkaitan dengan tatanan geopolitik dunia. Kalau kata Bleddyn Bowen dalam bukunya Original Sin: Power, Technology and War in Outer Space, teknologi seperti roket dan nuklir akan selalu membawa original sin atau dosa asli, semanis apapun kita mencoba untuk membungkusnya.

Apa dosa asli energi nuklir? Well, kita tidak boleh lupa bahwa nuklir adalah hasil temuan manusia yang pada awalnya murni diniatkan untuk menjadi keunggulan kekuatan sebuah negara dalam peperangan.

Oleh karena itu, siapapun yang memiliki akses ke teknologi nuklir, mereka pasti akan dilihat sebagai negara yang berpotensi menjadi ancaman besar dari negara lainnya, bahkan bila hanya untuk reaktor energi nuklir semata. Terlebih lagi bila wawasan nuklir yang didapatkan merupakan “pemberian” dari suatu negara besar. Pada akhirnya, fenomena bagi-bagi teknologi PLTN bisa jadi akan menjadi salah satu bentuk proxy war terkini.

Dengan demikian, bila Indonesia nantinya mengembangkan proyek PLTN-nya dengan Rusia, atau siapapun itu, maka bisa kita pastikan ada sebuah keputusan politik besar di belakangnya yang menjadi semacam pertanda bahwa Indonesia akhirnya berani memilih salah satu kubu geopolitik dunia.

Pada akhirnya, tentu semua ini hanyalah interpretasi belaka. Besar harapannya bagaimanapun perkembangan geopolitik dunia di tahun-tahun mendatang, konflik bisa kita cegah semampu mungkin.

0 comments:

Post a Comment